Jumat, 11 Juli 2025

Memahami Bank Milik Muhammadiyah


Beberapa waktu terakhir, beredar surat dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang berisi ajakan untuk mendukung Bank Syariah Matahari. Surat bernomor 12/HIM/1.0/C/2025 ini ditujukan kepada seluruh amal usaha Muhammadiyah (AUM), organisasi otonom, dan pimpinan di berbagai tingkatan. Harapannya, sebagian dana kelembagaan Muhammadiyah dapat ditempatkan di Bank Syariah Matahari, baik dalam bentuk tabungan maupun deposito.

Surat tersebut memicu berbagai respons dari masyarakat, baik dari kalangan warga Muhammadiyah sendiri maupun publik yang lebih luas. Ada yang menyambutnya dengan penuh semangat, bahkan menyebutnya sebagai tonggak sejarah kebangkitan ekonomi umat. Tak sedikit pula yang mengira bahwa Muhammadiyah telah mendirikan bank umum syariah baru berskala nasional, sekelas Bank Syariah Indonesia, Bank Muamalat Indonesia, atau Bank Mega Syariah.

Antusiasme ini tentu dapat dimengerti. Sudah sejak lama muncul harapan agar Muhammadiyah memiliki lembaga keuangan yang kokoh dan representatif—bank yang tidak hanya besar dalam hal aset, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai Islam, keberpihakan pada masyarakat, dan semangat pemberdayaan. Harapan tersebut tumbuh dari kesadaran kolektif bahwa lembaga keuangan milik umat bisa menjadi instrumen penting dalam memperkuat posisi ekonomi Islam dalam sistem keuangan nasional.

Namun demikian, penting untuk dipahami bahwa Bank Syariah Matahari bukanlah bank umum syariah sebagaimana dibayangkan oleh sebagian orang. Bank ini merupakan hasil konversi dari Bank Perekonomian Rakyat (BPR) Matahari Artadaya—lembaga keuangan konvensional milik Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA)—yang kini telah berubah menjadi Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS). Bank ini telah bertransformasi menjadi institusi yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah, dengan cakupan layanan yang sesuai dengan ketentuan regulasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sebagian masyarakat mungkin belum sepenuhnya memahami perbedaan antara BPRS dan bank umum syariah. BPRS merupakan jenis bank yang dirancang untuk melayani masyarakat di wilayah tertentu dengan skala kegiatan yang lebih terbatas. BPRS menghimpun dana dalam bentuk tabungan dan deposito, serta menyalurkannya kembali dalam bentuk pembiayaan, terutama kepada pelaku usaha kecil dan sektor produktif. Namun, BPRS tidak diizinkan menyediakan layanan giro, kartu ATM, transfer antarbank, atau sistem pembayaran elektronik. BPRS juga tidak terhubung ke sistem kliring nasional, sehingga belum dapat digunakan untuk transaksi lintas bank.

Sebaliknya, bank umum syariah—seperti halnya bank umum konvensional—memiliki keleluasaan untuk menyediakan berbagai layanan keuangan dan sistem pembayaran, termasuk giro, kartu debit dan kredit, transaksi antarbank, serta akses digital melalui mobile banking dan internet banking. Jaringan dan cakupannya pun bisa berskala nasional hingga internasional, dengan dukungan teknologi yang lebih kompleks dan beragam.

Meski demikian, bukan berarti BPRS memiliki peran yang lebih kecil. Sebaliknya, BPRS justru memainkan peran penting dalam memperluas inklusi keuangan, terutama di kalangan masyarakat yang belum terlayani oleh bank umum. Dengan pendekatan yang lebih dekat dan berbasis komunitas, BPRS sering kali lebih mampu menjawab kebutuhan spesifik masyarakat lokal. Dalam praktiknya, banyak BPRS yang menjadi penggerak pembiayaan mikro yang adil, fleksibel, dan berkelanjutan.

Menurut data terbaru dari OJK per Mei 2025, terdapat 1.345 BPR dan 173 BPRS yang aktif beroperasi di Indonesia. Meskipun skalanya berbeda dari bank umum, total aset gabungan BPR dan BPRS telah mencapai Rp228 triliun. Dari jumlah tersebut, BPRS menyumbang sekitar Rp27 triliun, dengan pertumbuhan aset rata-rata 8 hingga 10 persen per tahun dalam lima tahun terakhir. Angka ini menunjukkan bahwa kontribusi BPRS dalam ekosistem keuangan nasional tidak bisa diabaikan.

Di lingkungan Muhammadiyah sendiri, Bank Syariah Matahari bukanlah satu-satunya BPRS yang dikelola. Muhammadiyah telah mengembangkan sejumlah BPRS yang tersebar di berbagai daerah. Di Yogyakarta, terdapat BPRS Bangun Drajat Warga yang dikelola oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DI Yogyakarta dan telah berkembang dengan baik. Di Kendal, terdapat BPRS Artha Surya Barokah di bawah pengelolaan PW Muhammadiyah Jawa Tengah. Di Malang, Universitas Muhammadiyah Malang mengelola BPRS Bumi Rinjani. Sementara itu, Universitas Ahmad Dahlan mengelola BPRS Caraka Kiat Andalas yang beroperasi di Bukittinggi.

Keberadaan BPRS-BPRS ini mencerminkan komitmen Muhammadiyah dalam membangun sistem ekonomi alternatif yang kuat dan berkelanjutan. Inisiatif pendirian BPRS ini tidak lahir dari ambisi besar yang instan, tetapi dari strategi bertahap yang realistis—dimulai dari kebutuhan komunitas, lalu diperkuat dengan dukungan jaringan persyarikatan yang luas dan solid. Dukungan terhadap Bank Syariah Matahari dan BPRS lainnya hendaknya dipahami sebagai bagian dari upaya kolektif membangun kemandirian ekonomi dari bawah. Harapan akan lahirnya bank umum syariah milik Muhammadiyah tentu tetap terbuka, tetapi penguatan BPRS adalah langkah awal yang realistis dan strategis untuk mewujudkannya. Kita patut mengapresiasi langkah nyata Muhammadiyah yang tak hanya berbicara soal ekonomi umat, tetapi turut menumbuhkannya dari akar. Bank Syariah Matahari dan BPRS lainnya mungkin belum sebesar bank-bank besar nasional, tetapi mereka tumbuh dari semangat nilai dan pengabdian—dan di situlah kekuatannya.

Akhmad Akbar Susamto
(Ketua Umum Dewan Pengurus Wilayah Ikatan Ahli Ekonomi Islam DI Yogyakarta)

Jumat, 07 Februari 2025

Ekonomi Syariah dan Wamenkeu Anggito Abimanyu yang Dikukuhkan sebagai Guru Besar SV UGM


Anggito Abimanyu saat ini menjabat Wamenkeu dalam Kabinet Merah Putih periode 2024-2029, baru saja dikukuhkan sebagai guru besar UGM.

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) RI, Prof Anggito Abimanyu, resmi dikukuhkan sebagai guru besar di Bidang Ekonomi pada Departemen Ekonomika dan Bisnis, Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM).

Dalam pidato pengukuhannya yang berjudul Ekonomi syariah sebagai Bentuk Kepatuhan, Cara Hidup, dan Aktivitas Bisnis yang Membawa Manfaat, Anggito mengulas perjalanan intelektualnya dalam menggali dan memahami nilai-nilai serta manfaat ekonomi syariah di Indonesia.

“Ekonomi Syariah adalah cabang ilmu ekonomi yang mengikuti hukum atau prinsip syariah Islam. Para pengikut ekonomi syariah menjalankannya dengan alasan kepatuhan atau kewajiban agama Islam, seperti halal, maslahat dan tidak riba. Ada lagi yang beranggapan ekonomi syariah adalah cara hidup berbagi, bersih dan sehat,” ujarnya

Pada bagian lain pidatonya, Anggito menyatakan bahwa ia tidak lagi memandang ekonomi syariah sekadar sebagai sistem alternatif atau pelengkap bagi ekonomi konvensional. Ia menemukan perspektif baru, yaitu melihat ekonomi syariah sebagai wujud kepatuhan dan ketundukan terhadap ajaran agama serta wahyu yang diturunkan bagi umat manusia.

Menurutnya, esensi ekonomi syariah terletak pada nilai-nilai kepatuhan, pola hidup, dan manfaat yang menjadi bagian integral dari ajaran Islam. Hal ini diwujudkan melalui praktik transaksi halal yang menjunjung tinggi prinsip kejujuran tanpa toleransi terhadap unsur gharar (ketidakjelasan transaksi), maysir (spekulasi), dan tidak mengandung riba (usury).

“Tidak hanya halal, tetapi juga thayibbah sebagai bagian dari perilaku atau cara hidup berkonsumsi yang baik dan sehat,” kata dia.

Profil Anggito Abimanyu

Anggito Abimanyu adalah seorang dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM) yang saat ini menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan dalam Kabinet Merah Putih periode 2024–2029. Lahir di Bogor pada 19 Februari 1963, Anggito dikenal sebagai sosok yang memiliki ketertarikan mendalam terhadap berbagai aspek ekonomi. Minat ini mendorongnya untuk menempuh studi di Program Studi Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UGM.

Pada 1985, ia meraih gelar sarjana ekonomi dari FEB UGM. Setelah itu, Anggito melanjutkan pendidikan magister di University of Pennsylvania, Philadelphia, Amerika Serikat, yang memperluas wawasannya di bidang ekonomi, khususnya terkait keuangan dan kebijakan publik. Di universitas yang sama, ia juga berhasil menyelesaikan program doktoralnya (Ph.D.) dan kemudian dikenal luas sebagai seorang ekonom.

Dilansir dari laman resmi Alumni UGM, usai menyelesaikan studi, Anggito kembali ke Indonesia untuk mengabdi sebagai dosen di FEB UGM. Selain mengajar, ia juga aktif berkarier di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), di mana pada 2005–2010 ia menjabat sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF).

Pada Juni 2012, Anggito diangkat sebagai Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah di Kementerian Agama, berkat reputasinya yang dipercaya mampu melakukan reformasi di sektor yang sempat menjadi sorotan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Selanjutnya, pada 2015–2017, ia menduduki posisi Komisaris di Bank BRI Syariah, berkontribusi dalam pengembangan perbankan syariah di tengah persaingan industri perbankan konvensional. Keberhasilannya di bidang ekonomi syariah membuatnya dipercaya untuk memimpin Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) pada periode 2017–2022.

Setelah masa jabatannya di BPKH berakhir, Anggito kembali menekuni dunia akademik di UGM. Kiprahnya yang menonjol di sektor keuangan publik menjadikannya salah satu ekonom UGM yang berpengaruh di Indonesia. Pada tahun 2022, ia dipercaya untuk menjabat sebagai Ketua Departemen Ekonomika dan Bisnis di Sekolah Vokasi UGM.


Ref:

https://www.tempo.co/

Jumat, 24 Januari 2025

Menara Syariah The Sharia Financial Hub of Asia


Sumber : https://menarasyariah.com/

MENARA SYARIAH

Pantai Indah Kapuk 2

WEST TOWER

Pengembang Agung Sedayu Group dan Salim Group menghadirkan Islamic Financial Center di PIK 2 yang menjadi Pusat Ekonomi Syariah Terbesar Se-Asia Tenggara, di atas lahan seluas 23,5 hektare sebagai kawasan perbankan dan asuransi berbasis syariah.

Menara Syariah merupakan menara kembar yang terdiri dari 2 tower yang dirancang dengan fasilitas ritel di tengahnya. Pembangunan Menara Syariah yang akan menjadi ikon dan landmark dari kawasan PIK 2 itu didesain secara khusus, unik, dan modern dengan ruang kerja kondusif yang mengacu pada gaya perkantoran Syariah.

Gedung Menara Syariah itu ke depan akan menjadi pusat kegiatan ekonomi dan keuangan syariah menandingi pusat-pusat ekonomi dan keuangan syariah yang telah ada sebelumnya seperti di Uni Emirat Arab, Qatar, dan Kazakhstan.



MENARA SYARIAH

“Inspired by Faith, Committed to Excellence”

Sumber : https://menarasyariah.com/



3 Sektor Ekonomi Syariah



Seringkali kita memahami bahwa Ekonomi Syariah itu hanya sebatas Perbankan Syariah, tetapi sejatinya Ekonomi Syariah yakni mencakup semua sektor yang tidak menerapkan prinsip yang dilarang dalam Islam itu sendiri.

Tiga sektor ekonomi syariah diantaranya :

1. Sektor Riel sebagai imam dan jantung aktifitas dan gerakan ekonomi syariah

2. Sektor Sosial seperti zakat, wakaf, infaq, shodaqoh, dan 20 instrumen sosial lainnya seperti kafarat, fidyah, hibah, manihah, hadiah, kurban dll

3. Sektor keuangan dan moneter, seperti perbankan, pasar modal, SBSN dan 8 lembaga keuangan syariah lainnya. Sektor keuangan adalah makmum terhadap sektor riel

Minggu, 19 Januari 2025

Mengenal Asuransi Syariah, Beda dengan Asuransi Konvensional


Asuransi merupakan salah satu produk keuangan yang dapat membantu melindungi diri Anda maupun keluarga dari berbagai risiko finansial yang mungkin terjadi di masa depan. Ada berbagai produk asuransi yang bisa Anda pilih, mulai dari asuransi kesehatan, asuransi jiwa, hingga asuransi penyakit kritis.

Dengan memiliki asuransi, Anda akan mendapatkan manfaat perlindungan sesuai yang tertera di dalam polis asuransi, misalnya ketika Anda terkena sakit sehingga mengharuskan untuk dirawat inap di rumah sakit. Dengan adanya asuransi kesehatan, maka biaya pengobatan dan rumah sakit akan ditanggung pihak asuransi sesuai ketentuan polis, sehingga Anda tidak perlu khawatir lagi secara finansial dan bisa fokus pada proses penyembuhan.

Namun nyatanya tidak semua orang sadar akan pentingnya memiliki asuransi sebagai bentuk perlindungan diri. Bahkan, sebagian umum masyarakat masih memandang asuransi memiliki unsur yang merugikan dan bertentangan dengan agama. Oleh karena itu, ada asuransi syariah bagi Anda yang mencari asuransi sesuai dengan prinsip syariah.

Pengertian asuransi syariah

Menurut Otoritas Jasa Keuangan, asuransi syariah adalah sebuah usaha untuk saling melindungi dan saling tolong menolong di antara para pemegang polis (peserta). Sedangkan berdasarkan Fatwa DSN MUI tentang Asuransi Syariah Nomor 21/DSN-MUI/X/2001, pengertian asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset atau tabarru' yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad sesuai syariah.

Akad asuransi syariah yang dimaksud tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), riswah (suap), barang haram dan maksiat. Asuransi syariah juga disebut takaful atau tadhamun, ta’min.

Dengan kata lain, pengertian asuransi syariah adalah sebuah usaha untuk saling melindungi dan tolong menolong di antara pemegang polis (peserta asuransi) melalui pengumpulan dan pengelolaan dana tabarru.


Dasar hukum asuransi syariah

Hukum asuransi syariah merupakan panduan boleh atau tidaknya praktek asuransi syariah di Indonesia. Dalam penerapannya, perusahaan asuransi ayariah harus berdiri dan beraktivitas sesuai hukum Islam yang telah disyariatkan dan disepakati oleh pemerintah. Meski begitu, pertimbangan mengenai asuransi syariah dari berbagai sisi hukum dapat dibagi menjadi beberapa sumber. Di bawah ini adalah dasar hukum asuransi syariah yang dilansir dari berbagai sumber


Hukum asuransi syariah dalam agama Islam dan sesuai Alquran

Dalam Alquran dan Hadits, hukum asuransi berbasis syariah dan penerapannya terdapat dalam beberapa ayat, yaitu:

  • Al Maidah 2: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
  • An Nisaa 9: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap mereka.”
  • HR Muslim dari Abu Hurairah: “Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat.”

Hukum asuransi syariah menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Pada awalnya, hukum asuransi konvensional bertentangan dengan syariat Islam. Hingga akhirnya pada 2001, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa asuransi berbasis syariah diperbolehkan dalam ajaran Islam. Adapun fatwa MUI yang menegaskan kehalalan asuransi syariah antara lain:

  • Fatwa No 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
  • Fatwa No 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah
  • Fatwa No 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah
  • Fatwa No 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru pada Asuransi Syariah

 

Jenis perjanjian dalam asuransi syariah

Seluruh perusahaan asuransi syariah di Indonesia melakukan prosedur asuransi dengan landasan akad atau perjanjian sesuai syariat Islam. Berikut beberapa akad yang sering digunakan dalam asuransi berbasis syariah dilansir dari Qoala.

1. Akad tabarru’

Akad yang dimaksud adalah setiap peserta akan memberikan hibah berupa kontribusi melalui dana tabarru’ yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Dalam hal ini perusahaan asuransi berfungsi sebagai pengelola dana kontribusi tersebut.

2. Akad tijarah

Akad yang dimaksud adalah akad antara peserta dengan perusahaan dengan tujuan komersial.

3. Akad wakalah bil ujrah

Peserta menyerahkan pengelolaan uang kepada perusahaan asuransi untuk mengelola dana tabarru’ yang nantinya perusahaan akan mendapatkan imbalan berupa upah.

4. Akad mudharabah

Memberikan kuasa kepada perusahaan sebagai mudharib untuk mengelola dana tabarru’ dengan imbalan berupa hasil (nisbah) sesuai dengan kesepakatan


Keunggulan asuransi syariah

Ada banyak keunggulan yang bisa Anda dapatkan dengan memilih asuransi syariah. Berikut beberapa keunggulan asuransi syariah dilansir dari Kompas.com:

1. Pengelolaan dana menggunakan prinsip syariah

Perbedaan pertama asuransi syariah dan konvensional adalah dalam pengelolaan dananya. Asuransi syariah harus memenuhi prinsip-prinsip syariah, misalnya dana tersebut tidak dapat diinvestasikan pada saham dari emiten yang memiliki kegiatan usaha perdagangan atau jasa yang dilarang menurut prinsip syariah, termasuk perjudian atau kegiatan produksi dan distribusi barang dan jasa haram. 

2. Transparansi pengelolaan dana peserta asuransi

Pengelolaan dana perusahaan asuransi syariah dilakukan secara transparan, baik terkait penggunaan kontribusi, surplus underwriting, maupun pembagian hasil investasi. Pengelolaan dana tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan keuntungan bagi peserta asuransi secara kolektif maupun secara individu.

3. Pembagian keuntungan hasil investasi (jika ada)

Hasil investasi yang diperoleh dapat dibagi antara peserta asuransi, baik secara kolektif dan/atau individu, dan perusahaan asuransi syariah sesuai akad yang digunakan.

4. Kepemilikan dana

Kontribusi (premi) asuransi syariah akan menjadi milik perusahaan asuransi syariah sebagai pengelola dana dan sebagian lagi menjadi milik pemegang polis secara kolektif atau individual.

5. Tidak berlaku sistem ‘dana hangus’

Dana kontribusi (premi) yang disetorkan sebagai tabarru’ dalam asuransi syariah tidak akan hangus meskipun tidak terjadi klaim selama masa perlindungan. Dana yang telah dibayarkan akan tetap diakumulasikan di dalam dana tabarru’ yang merupakan milik pemegang polis (peserta) secara kolektif.

6. Adanya alokasi dan distribusi surplus underwriting

Surplus underwriting adalah selisih lebih dari total kontribusi pemegang polis ke dalam dana tabarru' setelah ditambah recovery klaim dari reasuransi dikurangi pembayaran santunan atau klaim, kontribusi reasuransi, dan penyisihan teknis, dalam satu periode tertentu. Pada asuransi syariah, surplus underwriting dapat dibagikan ke dana tabarru’ di mana pemegang polis yang memenuhi kriteria dan perusahaan asuransi akan mendapatkan surplus underwriting sesuai dengan persentase yang ditetapkan di dalam polis.


Produk asuransi syariah

Dilansir dari Cermati, ada beberapa produk asuransi syariah yang bisa Anda beli untuk melindungi risiko finansial di kemudian hari seperti:

  • Asuransi jiwa syariah
  • Asuransi mobil syariah
  • Asuransi pendidikan syariah
  • Asuransi kesehatan syariah
  • Asuransi PAYDI syariah
  • Asuransi kerugian syariah
  • Asuransi syariah berkelompok
  • Asuransi haji dan umrah
  • Asuransi kebakaran syariah
  • Asuransi rekayasa syariah
  • Asuransi kecelakaan diri syariah
  • Asuransi perjalanan syariah
  • Asuransi pengangkutan barang syariah
  • Asuransi aneka syariah

Perbedaan asuransi syariah & konvensional

Secara umum, terdapat beberapa perbedaan asuransi syariah dan konvensional. Untuk lebih jelasnya, kita bisa coba lihat pada tabel di bawah ini:



Sumber :

  • https://money.kompas.com/read/2022/03/27/202209026/asuransi-syariah-pengertian-jenis-dan-bedanya-dengan-konvensional?page=all
  • https://www.cermati.com/artikel/fatwa-mui-tentang-asuransi-apakah-haram-atau-halal
  • https://www.cermati.com/artikel/asuransi-syariah-pengertian-keunggulan-dan-contohnya
  • https://www.qoala.app/id/blog/asuransi/umum/apa-itu-asuransi-syariah/
  • https://axa-mandiri.co.id/-/pengertian-asuransi-syariah

Mengenal Perbedaan Perbankan Syariah dan Perbankan Konvensional



Meskipun bank syariah dan bank konvensional beroperasi dalam bidang perbankan, tapi prinsip, tujuan, sumber dana, produk dan layanan punya perbedaan.

Bank Syariah dan Bank Konvensional adalah dua jenis bank yang berbeda dalam cara mereka beroperasi, prinsip dasar, dan tujuan. Meskipun keduanya beroperasi dalam bidang perbankan, namun prinsip, tujuan, sumber dana, produk dan layanan, pengelolaan risiko, distribusi keuntungan, dan pengawasan yang membedakan keduanya secara signifikan. Berikut beberapa perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional.

Prinsip dasar

Melansir dari laman Bank Muamalat, dari sisi pengertian bank syariah merupakan bank yang menjalankan usaha dengan berdasarkan prinsip syariah, atau hukum islam. Prinsip Islam ini yang mana telah diatur dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia seperti prinsip keadilan dan keseimbangan ('adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah), universalisme (alamiyah), serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zalim dan obyek yang haram.

Sedangkan bank konvensional adalah bank yang menjalankan usaha dan dalam kegiatan usahanya menggunakan cara konvensional seperti memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran berdasarkan prosedur dan ketentuan yang telah ditetapkan.

Asas
Pada dasarnya asas yang digunakan pada bank syariah dan konvensional sama. Yakni berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Perbedaannya adalah pada bank syariah juga terdapat asas prinsip syariah yang tidak ada pada bank konvensional.

Fungsi

Fungsi bank lebih luas dibandingkan bank konvensional. Walaupun pada dasarnya keduanya sama-sama berfungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat tetapi bank syariah memiliki kelebihan. Kelebihan tersebut seperti bank syariah menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal.

Pelayanan ini meliputi menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Selain itu bank syariah bisa menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf sesuai dengan kehendak pemberi wakaf.

Regulasi

Bank konvensional dan bank syariah sama-sama mengikuti regulasi dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun, bank syariah memiliki pengawas atau Dewan Pengawas Syariah yang tujuannya memastikan semua bank syariah beroperasi dengan tetap mematuhi prinsip perbankan syariah.

Sumber pendapatan

Bank syariah didasarkan pada prinsip-prinsip syariah Islam yang mengatur keuangan dan bisnis. Prinsip ini meliputi prinsip keadilan, kejujuran, transparansi, dan tidak adanya riba (bunga). Dalam bank syariah, keuntungan diperoleh melalui penggunaan prinsip bagi hasil (profit and loss sharing), di mana nasabah berbagi risiko dan keuntungan dengan bank. Sedangkan bank konvensional didasarkan pada prinsip-prinsip kapitalisme dan keuntungan maksimal. Bank konvensional menggunakan bunga sebagai sumber keuntungan utama dan fokus pada keuntungan perusahaan dan pemegang saham.


Kamis, 16 Januari 2025

Ilmu Ekonomi Menurut Plato (Pemikiran)



Plato lahir di Athena dikenal sebagai ahli filsafat dan pemikir idealis. Dia juga merupakan pakar politik dan hukum pemerintahan yang mumpuni. Pemikiran Plato yang paling menonjol dalam perkembangan teori ekonomi adalah bukunya yang berjudul Respublika yang ditulis sekitar 400 tahun sebelum masehi. Dalam buku ini dia telah menguraikan teori dan pemikiran tentang uang, bunga, jasa tenaga kerja manusia dan perbudakan serta perdagangan. Sejak saat itu, pemikiran Plato tentang praktik ekonomi banyak dipelajari orang. Pembahasan masalah-masalah ekonomi tidak dilakukan secara khusus, tapi selalu dikaitkan dengan pemikiran tentang bentuk masyarakat yang sempurna 
(masyarakat utopia).

Pada zaman Yunani kuno, pembahasan tentang ekonomi masih merupakan bagian dari filsafat, khususnya filsafat moral yang menyangkut tentang bagaimana keadilan secara alamiah (nature of justice), kepatutan dan kelayakan. Pembahasan ekonomi selalu dikaitkan dengan rasa keadilan, kelayakan atau kepatutan yang perlu diperhatikan dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur secara merata.

Gagasan  Plato tentang keadilan bersumber  dari gagasannya tentang sebuah negara yang ideal (ideal state). Kemajuan suatu negara tergantung pada pembagian kerja (divison of labor) yang menuut plato akan timbul secara alamiah dalam masyarakat karena orang-orang memiliki kecenderungan bakat (talenta) yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, oleh karena itu bidang pekerjaaan yang akan diminati setiap orang juga akan berbeda. Pemikiran inilah yang dikembangkan oleh Adam smith dalam teori division of labor.

Plato mengemukakan tiga doktrin yang berkaitan dengan pembagian jenis pekerjaan dalam struktur manajemen negara, yaitu: (1). Para pengatur dan penguasa yang bertugas dalam hal membuat peraturan dan kebijakan politik negara (2). Tentara yang bertugas sebagai alat pertahanan dan kemanan negara, sehingga negara perlu melatih para tentara agar memiliki fisik yang sehat dan kuat dan (3). Para pekerja yang bertugas menyediakan kebutuhan bagi masyarakat, mereka ini terdiri dari para petani dan pedagang.

Selanjutnya Plato berpendapat bahwa:

  1. Keadilan dan kemajuan dalam sebuah negera ideal tergantung pada keadilan pada  pembagian kerja (division of labor) secara alami di dalam masyarakat. Untuk alasan itu, maka perlu adanya pembagian kerja secara adil dan pantas. 
  2. Membungan uang merupakan praktik riba.
  3. Semua manusia bersaudara, sehingga tidak pantas terjadi eksploitasi antar manusia demi kepentingan material atau kemewahan. Tapi Tuhan telah mengatur segalanya, sehingga ada orang-orang yang cocok bekerja sebagai penguasa/penguasa, sebagai tentara untuk pertahanan dan keamanan, sebagian jadi petani, pekerja dan pedagang. Plato telah mengingatkan bahwa hanya golongan terendah (kaum pekerja) yang boleh bekerja untuk mencari laba (profit oriented). Sedangkan pada penguasa dan tentara seharusnya tidak bekerja demi harta. Artinya, penguasa dan tentara tidak diperkenankan memiliki harta yang berlimpah melebihi batas kewajaran. Hanya dengan cara begini para penguasa dan tentara/polisi hanya akan mengabdikan diri untuk bangsa dan negara. 
  4. Orang yang menghasilkan barang dan jasa harus mempunyai stamina yang prima.


Plato memperingatkan bahwa pengaturan tersebut perlu dilakukan karena manusia memiliki sifat “hedonisme”, yaitu naluri manusia untuk memperoleh materi yang sebesar-besarnya jauh melebihi kebutuhan sewajarnya. Sifat hedonisme ini dipandang sebagai hambatan utama untuk dapat mencapai suatu masyarakat yang adil dan makmur secara merata. Untuk alasan itu,  maka Plato menganjurkan agar manusia perlu mengendalikan nafsu keserakahannya.

Sejak zaman Yunani kuno orang sudah mengenal paham perilaku hedonisme yang merupakan cikal bakal paham materialistik yang dikembangkan di eropa pada abad ke 17 dan ke 18. Paham ini pertama kali diperkenalkan oleh Aristippus yang berpandangan bahwa kenikmatan adalah tujuan hidup yang paling mulia. Artinya, kenikmatan egoistis merupakan tujuan akhir dari kehidupan manusia. Lebih lanjut Aristippus menyakatan bahwa semua aktivitas manusia akan dianggap baik jika mendatangkan kenikmatan dan manusia yang bijaksana adalah manusia yang mencari kenikmatan yang sebesar-besarnya di dunia ini (Deliarnov, 1995:10).

Para ekonom berpikir konvergen yang bermuara pada suatu kesepatan atau kesimpulan bahwa Plato merupakan orang yang pertama mengecam kekayaan dan kemewahan. Jika manusia ingin hidup sejahtera dalam negara yang adil dan merata, maka manusia perlu dan wajib mengendalikan hawa nafsu keserakahannya. Jika keserakahan manusia tidak dikendalikan, maka sebagian orang atau kaum elit (pemguasa/pemerintah dan orang cerdik/pandai) akan hidup berkemawahan, sedangkan yang lainnya akan hidup dalam kesengsaraan dan kemelaratan. Kondisi di Athena pada zaman itu, perekonomian dan tentara dikuasi oleh kaum bangsawan (aristocrat) yang jumlahnya relatif sedikit, tapi karena kepintaran dan kelihaiannya, maka kaum bangsawan menguasai dan mengeksploitir para budak (proletar) yang jumlahnya relatif banyak. Kaum proletar hidup dalam kesengsaraan dan kemelaratan. Kondisi objektif ini yang mendasari pemikiran Plato tentang perlunya manusia mengekang nafsu hedonisme.


Kelebihan atau nilai-nilai positif dari pemikiran Plato, pemikiran-pemikiran yang dimaksud adalah sebagai berikut: 


  1. Pemikiran Plato yang menekankan pada azas keadilan dan kerjasama serta tidak saling mengeksploitir antara satu dengan yang lainnya dalam melakukan kegiatan ekonomi (konsumsi, produksi dan distribusi).
  2. Gagasan Plato tentang perlunya pembagian kerja (division of labor). Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pemikiran ini merupakan cikal bakal lahirnya konsep spesialisasi yang dikembangkan oleh Adam Smith. Perbedaan gagasan keduanya hanya terletak pada penekanan. Jika pembagian kerja oleh Adam Smith dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (output) dan pembangunan ekonomi, maka Plato focus pada peningkatan kualitas kemanusian (pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM).
  3. Gagasan Plato tentang kesadaran bahwa penguasa dan tentara yang seharusnya hanya bekerja dan mengabdi untuk kepentingan negara dan masyarakat. Hanya dengan cara demikian para penguasa dan tentara dapat melaksanakan tugas mengurus negara secara adil.
  4. Pemikirannya yang mengecam sifat hedonisme yang berpandangan bahwa  kekayaan materi dan kenikmatan dunia merupakan tujuan akhir kehidupan manusia.Sifat hedonisme hanya akan membuat manusia serakah dan peduli pada orang lain (sesama manusia), padahal sejatinya manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang bersudara. 
Beberapa Pemikiran Plato yang masih relevan dengan perkembangan terkini, antara lain:
  1. Pendapat Plato tentang fungsi uang yang diuraikan dalam bukunya  yang berjudul Politica. Dalam buku ini dia mengatakan bahwa selain sebagi alat tukar, uang juga berfungsi sebagai alat pengukur nilai dan penimbung kekayaan. Lebih lanjut Plato berpandangan bahwa bersifat mandul dan tidak layak untuk kembangkan (diperanakkan) melalui bunga, karena bunga dianggap sebagai riba.Pemikiran yang terakhir ini relevan dengan penerapan ekonomi syariah yang memandang bunga  bank sebagai praktik riba. Selanjutnya ekonomi syariah menggantinya dengan teknik bagi hasil.
  2. Pemikiran tentang perlunya pembagian kerja berdasarkan komptensi yang dimiliki oleh tenaga kerja, dengan adanya pembagian kerja maka produktivitas tenaga kerja akan meningkat, dengan demikian maka perusahaan dan negara akan bekerja secara efektif dan efisien yang pada akhirnya akan meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif suatu Negara.
  3. Gagasan tentang pentingnya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya bagi semua golongan masyrakat. Ide atau gagasan ini sangat relevan dengan kondisi negara-negara berkembang termasuk Indonesia.