Jumat, 11 Juli 2025

Memahami Bank Milik Muhammadiyah


Beberapa waktu terakhir, beredar surat dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang berisi ajakan untuk mendukung Bank Syariah Matahari. Surat bernomor 12/HIM/1.0/C/2025 ini ditujukan kepada seluruh amal usaha Muhammadiyah (AUM), organisasi otonom, dan pimpinan di berbagai tingkatan. Harapannya, sebagian dana kelembagaan Muhammadiyah dapat ditempatkan di Bank Syariah Matahari, baik dalam bentuk tabungan maupun deposito.

Surat tersebut memicu berbagai respons dari masyarakat, baik dari kalangan warga Muhammadiyah sendiri maupun publik yang lebih luas. Ada yang menyambutnya dengan penuh semangat, bahkan menyebutnya sebagai tonggak sejarah kebangkitan ekonomi umat. Tak sedikit pula yang mengira bahwa Muhammadiyah telah mendirikan bank umum syariah baru berskala nasional, sekelas Bank Syariah Indonesia, Bank Muamalat Indonesia, atau Bank Mega Syariah.

Antusiasme ini tentu dapat dimengerti. Sudah sejak lama muncul harapan agar Muhammadiyah memiliki lembaga keuangan yang kokoh dan representatif—bank yang tidak hanya besar dalam hal aset, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai Islam, keberpihakan pada masyarakat, dan semangat pemberdayaan. Harapan tersebut tumbuh dari kesadaran kolektif bahwa lembaga keuangan milik umat bisa menjadi instrumen penting dalam memperkuat posisi ekonomi Islam dalam sistem keuangan nasional.

Namun demikian, penting untuk dipahami bahwa Bank Syariah Matahari bukanlah bank umum syariah sebagaimana dibayangkan oleh sebagian orang. Bank ini merupakan hasil konversi dari Bank Perekonomian Rakyat (BPR) Matahari Artadaya—lembaga keuangan konvensional milik Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA)—yang kini telah berubah menjadi Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS). Bank ini telah bertransformasi menjadi institusi yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah, dengan cakupan layanan yang sesuai dengan ketentuan regulasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sebagian masyarakat mungkin belum sepenuhnya memahami perbedaan antara BPRS dan bank umum syariah. BPRS merupakan jenis bank yang dirancang untuk melayani masyarakat di wilayah tertentu dengan skala kegiatan yang lebih terbatas. BPRS menghimpun dana dalam bentuk tabungan dan deposito, serta menyalurkannya kembali dalam bentuk pembiayaan, terutama kepada pelaku usaha kecil dan sektor produktif. Namun, BPRS tidak diizinkan menyediakan layanan giro, kartu ATM, transfer antarbank, atau sistem pembayaran elektronik. BPRS juga tidak terhubung ke sistem kliring nasional, sehingga belum dapat digunakan untuk transaksi lintas bank.

Sebaliknya, bank umum syariah—seperti halnya bank umum konvensional—memiliki keleluasaan untuk menyediakan berbagai layanan keuangan dan sistem pembayaran, termasuk giro, kartu debit dan kredit, transaksi antarbank, serta akses digital melalui mobile banking dan internet banking. Jaringan dan cakupannya pun bisa berskala nasional hingga internasional, dengan dukungan teknologi yang lebih kompleks dan beragam.

Meski demikian, bukan berarti BPRS memiliki peran yang lebih kecil. Sebaliknya, BPRS justru memainkan peran penting dalam memperluas inklusi keuangan, terutama di kalangan masyarakat yang belum terlayani oleh bank umum. Dengan pendekatan yang lebih dekat dan berbasis komunitas, BPRS sering kali lebih mampu menjawab kebutuhan spesifik masyarakat lokal. Dalam praktiknya, banyak BPRS yang menjadi penggerak pembiayaan mikro yang adil, fleksibel, dan berkelanjutan.

Menurut data terbaru dari OJK per Mei 2025, terdapat 1.345 BPR dan 173 BPRS yang aktif beroperasi di Indonesia. Meskipun skalanya berbeda dari bank umum, total aset gabungan BPR dan BPRS telah mencapai Rp228 triliun. Dari jumlah tersebut, BPRS menyumbang sekitar Rp27 triliun, dengan pertumbuhan aset rata-rata 8 hingga 10 persen per tahun dalam lima tahun terakhir. Angka ini menunjukkan bahwa kontribusi BPRS dalam ekosistem keuangan nasional tidak bisa diabaikan.

Di lingkungan Muhammadiyah sendiri, Bank Syariah Matahari bukanlah satu-satunya BPRS yang dikelola. Muhammadiyah telah mengembangkan sejumlah BPRS yang tersebar di berbagai daerah. Di Yogyakarta, terdapat BPRS Bangun Drajat Warga yang dikelola oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DI Yogyakarta dan telah berkembang dengan baik. Di Kendal, terdapat BPRS Artha Surya Barokah di bawah pengelolaan PW Muhammadiyah Jawa Tengah. Di Malang, Universitas Muhammadiyah Malang mengelola BPRS Bumi Rinjani. Sementara itu, Universitas Ahmad Dahlan mengelola BPRS Caraka Kiat Andalas yang beroperasi di Bukittinggi.

Keberadaan BPRS-BPRS ini mencerminkan komitmen Muhammadiyah dalam membangun sistem ekonomi alternatif yang kuat dan berkelanjutan. Inisiatif pendirian BPRS ini tidak lahir dari ambisi besar yang instan, tetapi dari strategi bertahap yang realistis—dimulai dari kebutuhan komunitas, lalu diperkuat dengan dukungan jaringan persyarikatan yang luas dan solid. Dukungan terhadap Bank Syariah Matahari dan BPRS lainnya hendaknya dipahami sebagai bagian dari upaya kolektif membangun kemandirian ekonomi dari bawah. Harapan akan lahirnya bank umum syariah milik Muhammadiyah tentu tetap terbuka, tetapi penguatan BPRS adalah langkah awal yang realistis dan strategis untuk mewujudkannya. Kita patut mengapresiasi langkah nyata Muhammadiyah yang tak hanya berbicara soal ekonomi umat, tetapi turut menumbuhkannya dari akar. Bank Syariah Matahari dan BPRS lainnya mungkin belum sebesar bank-bank besar nasional, tetapi mereka tumbuh dari semangat nilai dan pengabdian—dan di situlah kekuatannya.

Akhmad Akbar Susamto
(Ketua Umum Dewan Pengurus Wilayah Ikatan Ahli Ekonomi Islam DI Yogyakarta)